SRC:www.antaranews.com
Ilustrasi Lambang Negara Republik Indonesia. (FOTO ANTARA News/ferly)
Jakarta (ANTARA News) - Ekonom China dari Tsinghua University Yingyi Qian mengatakan bahwa ekonomi Indonesia memiliki peluang untuk tumbuh hingga delapan persen.
"Perekonomian Indonesia dapat tumbuh hingga 8 persen karena Indonesia memiliki dua modal utama yaitu populasi sebesar 250 juta jiwa dan sumber daya alam apalagi perkembangan teknologi membuat antarnegara semakin terhubung," kata Dekan Sekolah Ekonomi Manajemen Tsinghua University, Yingyi Qian di Jakarta, Senin.
Ia mengungkapkan hal tersebut dalam seminar "China Macroeconomy" yang diselenggarakan oleh Kantor Berita ANTARA bekerja sama dengan Tsinghua University.
Selain faktor internal, masih ada faktor eksternal yang menurut Qian mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu kondisi China dan India dengan total populasi 2,5 miliar jiwa yang dapat menjadi pasar sekaligus sumber suplai produk bagi Indonesia.
"Apalagi Indonesia dapat menangani masalah lingkungan hidup lebih baik dari pada China sehingga kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi terbuka luas, angka 7-8 persen bukan hal yang tidak mungkin," jelas Qian.
China sendiri, menurut Qian, hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen dalam rencana lima tahun negara tersebut, meski pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi China 2011 adalah 9,1 persen dan target pada 2012 diturunkan menjadi sebesar 7,5 persen.
"China dalam 20-30 tahun ke depan masih tetap menjadi negara berpenghasilan menengah yaitu dengan jumlah pendapatan per kapita sebesar 5.500 dolar AS atau bila dihitung dengan Purchasing Power Parity adalah 8.800 dolar AS per orang," ungkap Qian.
Dengan kondisi tersebut, China masih membutuhkan waktu 15 tahun untuk dapat menyamai kondisi ekonomi Amerika Serikat, padahal pada saat yang sama, menurut Qian, AS pun terus tumbuh.
"Agar suatu negara dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya, dibutuhkan reformasi pada sistem ekonomi dan mengurangi monopoli negara, ini yang kami lakukan dalam beberapa tahun terakhir," jelas Qian.
Ia menjelaskan tiga kunci reformasi sistem perbankan yang sebaiknya dilakukan oleh suatu negara.
"Pertama adalah liberalisasi suku bunga yang seharusnya ditentukan oleh permintaan dan suplai pasar bukan diatur pemerintah; yang terjadi di China suku bunga masih ditentukan negara yaitu bunga pinjaman harus turun dan bunga tabungan diminta naik padahal seharusnya nilai suku bunga dibiarkan ditentukan oleh mekanisme pasar," ungkap Qian.
Cara kedua adalah reformasi nilai tukar mata uang suatu negara, yaitu dengan membiarkan mata nilai tukar ditentukan pasar, China baru memberikan fleksibilitas terhadap nilai tukar yuan terhadap dolar pada 2010 setelah sebelumnya dipatok dengan nilai tetap.
"Hal terakhir adalah konversi "capital account", contohnya bank dapat melakukan pertukaran yuan dengan dolar dan dolar dengan yuan dengan bebas," jelas Qian; bila ketiga hal tersebut terjadi, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat tumbuh lebih baik lagi.
Ia juga menjelaskan prospek yang dapat diambil dari kondisi ekonomi China yang tumbuh tersebut bagi Indonesia.
"China adalah pasar yang sangat besar, karena konsumsi masyarakat China sendiri masih rendah yaitu 35 persen dari total GDP jadi masih terbuka kesempatan di sana, termasuk di sektor jasa seperti film, musik, pendidikan dan rumah tangga," tambah Qian.
Qian juga mengungkapkan bahwa pengusaha China juga sedang mencari negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai tempat investasi karena kondisi di Eropa dan AS yang kurang baik.
"China berminat untuk berinvestasi di perusahaan swasta maupun milik negara di Indonesia, tinggal bagaimana institusi di sini dapat bekerja dengan baik untuk mengambil kesempatan," ungkap Qian.
(T.D017/N002)
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment