SRC:www.antaranews.com
Mari Elka Pangestu (FOTO ANTARA)
Menparekraf Mari Elka Pangestu pada keterangan persnya yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat, mengatakan pemerintah memiliki kepentingan membangun karakter dan jati diri bangsa lewat perfilman, namun juga menyadari pentingnya masuk dalam aspek ekonomi.
"Oleh karena itu Kemenparekraf dan Kemdikbud menyepakati bahwa kami bersama dengan insan perfilman akan membawa perfilman Indonesia menjadi industri perfilman yang mandiri, yang mampu menciptakan nilai tambah secara ekonomi, tetapi harus tetap menjaga nilai sosial dan budaya serta kelestarian lingkungan," ujar Mari Pangestu pada Hari Film Nasional yang juga dihadiri Mendikbud Mohammad Nuh.
Ia mengatakan kedua kementerian juga sepakat akan percepatan penyelesaian permasalahan perfilman di Indonesia, mulai dari persoalan kuantitas dan kualitas SDM, akses pembiayaa, jangkauan serta kebijakan distribusi dan pertunjukan film, peningkatan apresiasi terhadap film dan pekerja film, hingga aspek kelembagaan.
Mari mengatakan masalah SDM sangat penting dalam membangun industri perfilman.
Sayangnya, saat ini Indonesia baru memiliki satu pendidikan tinggi jurusan perfilman, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
"Kemenparekraf dan Kemdikbud akan bersinergi untuk memberikan akses pendidikan dan pelatihan seluas-luasnya kepada insan perfilman," ujarnya. Kemendikbud, lanjut dia, akan berupaya untuk mengembangkan institusi pendidikan formal yang terkait dengan perfilman, sehingga dapat dihasilkan pekerja-pekerja film yang handal.
Sedangkan Kemenparekraf akan memperkuat pekerja film Indonesia untuk mengembangkan kemampuannya dalam mengelola produksi film, memahami perkembangan teknologi perfilman melalui pendidikan informal, lokakarya, kerja sama dengan perusahaan-perusahaan film di dunia, ataupun kerja sama produksi dengan produser film luar negeri.
Mari juga mengakui ada persoalan dalam distribusi film terkait kurangnya jumlah bioskop, belum adanya tata edar, belum adanya aturan pertunjukan film, serta belum adanya sistem informasi jumlah penonton film.
"Jangkauan penonton film Indonesia relatif rendah, dimana frekuensi menonton per kapita Indonesia hanyalah 0,24, relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia," ujarnya.
Ditambahkan Direktur Jendral Nilai Budaya Seni dan Film Kemenparekraf Ukus Kuswara, investasi untuk pembangunan bioskop, akan menjadi perhatian Kemenparekraf karena saat ini Indonesia hanya memiliki 190 gedung bioskop, dengan 774 layar, yang sebagian besar terpusat di Pulau Jawa, dan kota-kota besar lainnya.
"Bahkan ada 10 provinsi yang belum memiliki bioskop, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, NTB, Aceh, Gorontalo, Bangka Belitung, NTT, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat," kata Ukus.
Berdasarkan data Kemenparekraf, jumlah film Indonesia yang dihasilkan setiap tahunnya sejak tahun 2008-2011 ini cenderung menurun. Jumlah film yang tercatat pada 2011 adalah 82 judul, sedangkan pada tahun 2008 sudah mencapai 87 judul.
Sementara untuk jumlah penonton film Indonesia, rekor tertinggi masih diraih oleh film Laskar Pelangi dengan jumlah penonton 4,1 juta dan film Ayat-Ayat Cinta sebanyak 3,6 juta penonton.
Namun demikian, perkembangan menggembirakan terlihat pada peningkatan jumlah penonton. Tahun 2010 jumlah keseluruhan penonton film nasional mencapai 46 juta, meningkat menjadi 62 juta penonton di tahun 2011.
Kendati ada penurunan dari segi kuantitas dibandingkan tahun 2008, dari segi kualitas semakin membaik yang ditandai dengan makin banyaknya film dan aktor Indonesia yang mendapat penghargaan di festival film di tingkat regional maupun internasional.
Mari Pangestu juga mengakui ada permasalahan di rantai produksi perfilman terkait masalah pembiayaan dan perizinan lokasi pengambilan gambar film. Rata-rata film berkualitas dihasilkan dengan biaya di atas Rp5 miliar, tetapi di lain pihak belum banyak lembaga pembiayaan yang masuk dalam industri ini.
Sementara itu, perizinan pengambilan film di daerah, kata dia, masih dihadapkan pada berbagai prosedur yang belum standar.
"Untuk mengatasi tersebut, pemerintah akan mengupayakan layanan satu atap. Kami tengah menginventarisasikan masalah perizinan di daerah dan berharap Pemerintah Daerah nanti yang akan menjalankannya," katanya.
Mari juga menyampaikan proses pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang diharapkan mampu mendukung film sebagai salah satu industri yang bernilai strategis. BPI ditargetkan selesai Agustus 2012 yang ditandai dengan penyelenggaraan Munas Perfilman.
(TZ.R016/A011)
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment