http://ift.tt/1ifSeuK Sejumlah pendukung bakal capres PDI-P Jokowi mendeklarasikan Jokowi untuk Nusantara (JORA) di Jakarta, Senin (17/3/2014).
seorang manusia tanpa etika adalah ibarat binatang liar yang berkeliaran di dunia. JAKARTA, TERKINISEKALI.BLOGSPOT.com - Suhu politik nasional beberapa hari ini terasa memanas. Spekulasi pun terus berkembang. Salah satu pemicunya adalah ketika Joko Widodo atau Jokowi menyatakan mendapat mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi bakal calon presiden dari partai tersebut. Situasi politik beberapa hari terakhir seolah membenarkan analisis dari sejumlah pengamat jauh sebelum Jokowi menerima mandat itu. Kehadiran pria berbadan kurus itu dapat mengubah konstelasi politik nasional. Belum bicara hasil, dalam prosesnya saja sudah sangat terasa. Dinamika politik menjadi sangat dinamis. Majunya Jokowi sebagai bakal capres bukan tanpa pro-kontra. Pendukung dan yang menolak sama-sama ada. Kubu pendukung memberikan pujian tinggi kepada Megawati dan menganggapnya sebagai negarawan yang mengambil keputusan tepat. Kubu penolak bersikap sebaliknya, mencari-cari kesalahan dan menilai Jokowi melanggar etika karena maju sebagai bakal capres saat belum genap dua tahun memimpin Jakarta. Peneliti Senior Centre For Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi mengatakan, etika dalam politik terbagi dua yakni etika personal dan etika sosial. "Etika sosial lebih luas. Dorongannya kuat enggak? Konstitusinya bagaimana? Kalau rakyat tidak keberatan, ya maju," kata Kristiadi, dalam sebuah diskusi politik, di Jakarta, Rabu (19/3/2014).Untuk etika personal, pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh Jokowi. Gubernur DKI ini seharusnya dapat menakar, etis atau tidaknya ia menerima mandat dari Megawati untuk naik kelas menjadi bakal capres. Sementara itu soal etika sosial, Jokowi dapat menimbang respons yang muncul dari publik. Ketika ditemukan dukungan yang besar, maka tak salah jika Jokowi menerima mandat dan maju sebagai bakal capres karena tak ada undang-undang yang melarangnya. Menurut Kristiadi, Jokowi hampir pasti menang bila nanti bertarung di arena pilpres. Sangat sulti, kata dia, mencari padanan yang mampu mengimbangi popularitas Jokowi. Semakin dijatuhkan oleh lawan politiknya, Jokowi justru semakin tinggi di mata pendukungnya. Bagi Kristiadi, "Jokowi effect" ini alami karena kebosanan publik pada bakal capres lain yang rekam jejaknya tidak memuaskan. "Kalau harapan publik lebih besar, siapa yang dilukai? Mungkin dia akan lebih bermanfaat bagi rakyat banyak," ujarnya.Cawapres Setelah Jokowi resmi menjadi bakal capres, spekulasi seputar dia pun bergeser kepada figur yang akan menjadi bakal calon wakil presiden yang bakal mendampinginya. Sejumlah nama bermunculan, antara lain Jusuf Kalla dan Mahfud MD. Kedua nama itu dianggap ideal karena memiliki catatan baik dan dapat diterima oleh semua partai. Di luar dua nama itu, belakangan makin kencang terdengar bahwa Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dinilai cocok mendampingi Jokowi. Di luar dugaan, Abraham responsif menanggapinya.Abraham mengaku tengah mempertimbangkan dan tidak bisa menolak jika takdir nanti membawanya untuk maju dalam pemilu presiden. Kalaupun tak jadi mendampingi Jokowi, Abraham bisa saja merapat ke Gerindra karena Prabowo Subianto juga telah mengeluarkan sinyal positif meliriknya menjadi kandidat pendamping. Namun, Abraham mengaku akan meminta petunjuk Tuhan terlebih dahulu dengan shalat istikharah. Dia juga mengatakan harus meminta izin dulu kepada unsur pimpinan dan seluruh pegawai KPK. Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Abraham sebaiknya tak tegiur maju di panggung pilpres. Ray khawatir akan muncul preseden buruk ketika Ketua KPK yang sedang menjabat kemudian loncat ke arena politik sebelum menyelesaikan tugasnya. Kembali ke etika, Abraham tentu memiliki hak untuk menentukan pilihannya. Akan tetapi, apakah pantas? "Secara etika dan hukum enggak melanggar, tapi bahaya untuk semangat pemberantasan korupsi kita kalau Abraham maju (ke pilpres) saat masih aktif," ujar Ray. Ray menuturkan, publik menyukai Abraham karena konsistensinya dalam memimpin peperangan melawan korupsi. Hasilnya juga lumayan baik. Meski belum mampu berbicara banyak di ranah pencegahan, tetapi KPK di bawah kepemimpinan Abraham sudah membongkar sejumlah kasus yang melibatkan figur di posisi penting. Etika memang bukan hitung-hitungan pasti seperti matematika. Namun, suka atau tidak, etika menjadi faktor penting, terutama ketika dikaitkan dengan bakal calon pemimpin bangsa selanjutnya. Meski bisa begitu lentur dan serba tergantung, etika juga tak berarti dapat dimaknai sesukanya. Semua bakal calon pemimpin wajib tunduk pada etika. Ketika gagal tunduk, maka produk yang dihasilkan dari kepemimpinannya sudah pasti akan mengundang pertanyaan. Setidaknya, Albert Camus, peraih Nobel yang bergelut di bidang sastra, jurnalistik, dan filosofi, pernah menyatakan bahwa
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment