SRC:www.antaranews.com
(dari kiri) Gitaris Yes Steve Howe, pemain Kibor Geoff Downes, pemain Bas Chris Squire dan san Vokalis Jon Davison beraksi saat tampil dalam konser musik Celebrating 44 Years Of Yes di Jakarta, Selasa (24/4). Konser musik pengusung progresif rock asal Inggris itu merupakan bagian dari Tur Show nya di beberapa negara di Asia dan Australia. (FOTO ANTARA/Zarqoni)
Anggap seperti makan malam, santap saja, nikmati."
Jakarta (ANTARA News) - YES, band rock progresif asal Inggris, mampu membuktikan bahwa bermusik tidak terbatas oleh usia lewat konsernya yang 'nikmat' berdurasi 2,5 jam di Grand Ballroom Ritz Carlton Hotel, Pacific Place, Jakarta, Selasa malam (24/4).
Band yang bisa dibilang 'bapak' rock progresif, dimana tahun ini genap berusia 44 tahun, tampil memukau dan tidak hanya melarutkan penonton yang sebagian besar 'om dan tante' itu ke dalam nostalgia, tetapi memberikan inspirasi pada kaum muda yang lahir jauh setelah Yes berjaya.
"Nonton Yes tidak harus tahu mereka, asal suka musik. Mereka banyak memberi inspirasi. Anggap seperti makan malam, santap saja, nikmati," kata penyanyi rock, Ikang Fawzi yang menggemari Yes sejak ia masih duduk dibangku Sekolah dasar (SD).
Yes memberikan "santapan malam" itu. Sajian lagu-lagu yang panjang lewat 13 lagu mampu membuat penonton berdecak kagum pada sebagian personil yang usianya rata-rata telah berkepala enam.
Mereka tampil dengan vokalis yang baru bergabung pada Februari lalu, Jon Juano Davison, yang menggantikan Benoit David. Davison, yang merupakan penggemar fanatik Yes sejak kecil dan memiliki band 'copycat' Yes bernama "Roundabout" tampil bagai reinkarnasi Jon Anderson, bekas vokalis pentolan Yes.
Pria asal Amerika itu tampil bagai Anderson dengan kemeja khas 70-an, celana 'cutbray' putih, rambut belah tengah serta bernyanyi sambil memainkan tamborin atau gitar. Bahkan tone vokal-nya nyaris mirip dengan Anderson yang bersuara sopran.
Davison merupakan vokalis Yes keempat setelah vokalis sebelumnya seperti Jon Anderson, Trevor Horn, dan Benoit David.
"Awalnya saya merasa harus bertanggung jawab saat menggantikan Jon Anderson. Tetapi saya menjadi diri sendiri saja, melakukan yang harus saya lakukan dengan senang," ujar Jon saat jumpa pers sebelum konser, Senin (23/4).
Tak Lekang Oleh waktu
Penampilan Chris Squire (bass, vokal), Steve Howe (gitar), Alan White (drum), Geoffrey Downes (keyboard), dan Jon Juano Davison (vokal utama) di atas panggung yang terbilang sederhana, langsung menggoyang ribuan penonton lewat lagu pertama mereka, "Yours Is No Disgrace" dari album ketiga Yes, "The Yes Album" yang dirilis pada tahun 1971.
Howe (65) yang mengenakan kemeja bermotif dan celana hitam langsung tampil dominan. Dengan jari-jari yang sudah keriput ia memainkan senar-senar gitarnya secara apik dan langsung disambut gemuruh penonton. Disusul permainan bas dari Squire (64) dan gebukan drum dari White (62).
Unsur-unsur progresif diperkuat oleh nada-nada keyboard dari Downes (59). Suasana semakin memanas, saat Howe tampil atraktif dengan mengajak penonton berinteraksi lewat alunan gitarnya. Penonton tampak berdiri dan tepuk tangan hingga lagu usai.
"Terimakasih banyak," teriak Davison menggunakan bahasa Indonesia sebelum melanjutkan lagu kedua.
Yes terus menggeber penonton lewat lagu-lagu lawasnya seperti Tempus Fugit (Drama, 1980) yang menampilkan harmonisasi suara yang manis dari Davison dan Squire.
Lalu mereka kembali membawakan lagu dari album "The Yes Album" (1971) yang berjudul "I've Seen All Good people" yang menonjolkan perpaduan solo dari Squire dan Howe.
"Ini lagu dari album baru kami, Fly From Here," ujar Davison sebelum menyanyikan lagu "Life On A Film Set."
Pada lagu tersebut, Davison ikut bermain gitar dan Howe terhitung sudah berganti empat gitar, yang memberi warna-warna dari penampilan mereka terasa menonjol.
"Apakabar Jakarta," teriak Davison lagi, menggunakan bahasa Indonesia.
Lampu mengarah pada Howe, yang kembali memamerkan kemampuannya memainkan senar dengan memukau dan memecah histeris penonton. Pada lagu itu, Howe berkali-kali mengganti gitar, termasuk 'still gitar'. Tidak mau kalah, Squire memperkaya unsur lain dengan permainan harmonikanya pada lagu "And You And I" itu.
Sementara pemain lain meninggalkan panggung, Howe bermain solo dengan gitar akustiknya. Ia menghipnotis penonton dengan permainannya yang kadang begitu lembut, namun kadang menghentak. Penonton pun tak henti-hentinya memberi 'applause' pada pria kelahiran 8 April 1947 itu.
Selesai permainan memukau dari Howe, Yes hadir kembali dengan formasi lengkap dan memperkenalkan sebuah lagu panjang yang dibagi menjadi lima suites (bagian) dari album terbaru mereka, "Fly From Here" yang dirilis pada 22 Juni tahun lalu. Album tersebut, merupakan album pertama setelah Yes terakhir menelurkan album "Magnification" pada tahun 2001.
"Mereka sepertinya ingin kembali ke zaman progresif rock tahun 80-an," ujar pemerhati musik, Denny Sakrie mengomentari lagu terbaru dari Yes itu.
Pada konser malam itu, Yes juga sepertinya ingin menarik ulur penonton dengan lagu lawas dan baru yang mereka mainkan secara bergantian. Selesai lagu "Fly From Here" yang terdiri dari "Overture", "We Can Fly", "Sad Night at Airfielf", "Madman at the Screens", "Bumpy Ride", dan "We Can Fly (Reprise)", mereka kembali membawa nostalgia pada lagu "Wonderous Stories" dari album "Going for the One" (1977).
Penonton yang sebelumnya hanya terpana menyaksikan lagu "Into The Storm" dari album terbaru mereka, kembali histeris saat salah satu hits Yes, "Heart of Sunrise" (Fragile, 1971) dibawakan.
Suasana semakin memanas, saat lagu yang ditunggu-tunggu, "Owner Of A Lonely Heart" (90125, 1983) dan Starship Trooper (The Yes Album, 1971) mereka suguhkan secara berurutan. Tepuk tangan penonton semakin bergemuruh, saat Downes yang menggunakan hand-keyboard bergabung bersama Howe, Davison, dan Squire ke depan panggung. Ke-empatnya berjoget bersama diiringi hentakan drum dari White.
Penonton yang semula hanya duduk ikut berdiri, bahkan beberapa maju ke depan mendekati panggung. Saat lagu usai, para personil satu persatu meninggalkan panggung. Penonton yang belum rela pulang tanpa mendengarkan tembang "Roundabout", salah satu hits Yes dari album Fragile (1971), langsung serentak berteriak "we Want More" berkali-kali.
Panggung yang semula gelap akhirnya kembali bersinar, seiring kedatangan mereka satu persatu. Penonton semakin maju mendekati panggung saat "Roundabout" menghentak malam itu, sekaligus menutup konser Yes.
"Terimakasih sudah datang, kami mungkin akan kembali secepatnya atau 40 tahun lagi," teriak Squire yang disambut gelak tawa penonton dan lambaian tangan.
Mereka berlima membungkuk ke hadapan penonton. "santapan malam" pun habis, namun meninggalkan sisa harmonisasi musik yang tidak terlupakan, saking nikmatnya.
Bertahan, Mengikuti zaman
"Penampilan Yes masih bagus, tetapi kurang enerjik lagi namanya juga sudah tua ya," ujar pemerhati musik, Denny Sakrie. "Warna tidak berubah, itu tadi Yes banget," tambahnya.
Setidaknya telah tercatat 17 pemusik yang datang dan pergi dalam formasi band yang dibentuk pada tahun 1968 dan merilis sekitar 27 album itu.
Namun, seringnya pergantian personil dalam tubuh Yes, justru membawa dampak positif pada sajian musiknya yang tidak pernah stagnan. Jati diri Yes yang kental dengan gaya art rock ataupun progresif rock sempat bergeser saat merilis album 90125 di tahun 1983 dengan atmosfer pop rock yang light.
Pada kesempatan yang sama, pemerhati musik, Bens Leo menilai bahwa Yes merupakan salah satu band yang paling lama bertahan meskipun formatnya berkali-kali ganti.
"Selama masih ada tokoh-tokoh lama, sebuah band tidak perlu takut ditinggalkan penggemarnya. Yes membuktikan itu," ujar Bens Leo, usai konser.
Nafas mereka adalah musik. Dan musik yang membuat mereka terus bertahan hingga sekarang.
"Musik membuat kami tetap bersatu. Kolaborasi dari masing-masing personil untuk membuat sesuatu yang baru," kata Alan White, menjelaskan alasan band tersebut masih bertahan.
(M047)
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment